Etika
ETIKA
Etika (Yunani Kuno:
"ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang
utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai
standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti
benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Etika dimulai bila
manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita.
Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis
kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan
etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak
setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan
sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah
etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah
laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga
tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika
melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia. Etika terbagi
menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif
(studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai
etika).
Menurut para ahli maka
etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan
antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan
etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti
norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku
manusia yang baik, seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini :
Drs.
O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalamberprilaku
menurut ukuran dan nilai yang baik.
Drs.
Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentangtingkah
laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yangdapat
ditentukan oleh akal.
-Drs.
H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai
nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.
Etika dalam Kehidupan Kita sehari-hari
Dalam kehidupan
bermasyarakat kita semua hidup berdasarkan nilai dan norma yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Dalam lingkungan masyarakat pula kita sering mendengar
istilah kata ‘etis’ dan ‘tidak etis’. Baik istilah kata ‘etis’ maupun ‘tidak
etis’ keduanya digunakan oleh manusia untuk menggambarkan dan menilai suatu
bentuk perilaku yang dianggap ‘baik atau buruk’ dan ‘pantas atau tidak pantas’.
Penilaian manusia terhadap suatu tingkah laku berupa ‘etis’ atau ‘tidak etis’
ini berdasarkan atau bersumber pada hati nurani manusia itu sendiri dan
ditambah dengan adanya nilai-nilai lain yang berkembang di lingkungan tersebut,
seperti nilai-nilai adat.
Nilai-nilai etika tidak
hanya penting bagi kehidupan kita saja, melainkan juga untuk semua umat manusia
di dunia. Kita tahu bahwa manusia adalah makhluk sosial yang berarti manusia
tidak bisa tidak berinteraksi dengan manusia lain. Segala kegiatan dan
pekerjaan manusia selalu berhubungan dengan manusia lain dan juga berdampak
pada manusia lain pula. Dalam menjalin hubungan antarmanusia tentu dibutuhkan
suatu pandangan terhadap nilai baik atau buruknya suatu perilaku, seperti hal
apa yang baik untuk dilakukan dan hal apa yang sebaiknya tidak dilakukan atau
bahkan dilarang untuk dilakukan. Hal ini ditujukan agar manusia lebih
menggunakan hati nuraninya dalam melihat berbagai hal di lingkungannya
berkaitan dengan yang baik atau buruk. Etika dalam hal ini berfungsi untuk
lebih “memanusiakan manusia”. Mengapa demikian? Karena salah satu ciri dan
anugerah yang dimiliki manusia adalah adanya hati atau perasaan dan juga akal
pikiran. Etika mengajak manusia untuk lebih menggunakan kedua anugerah
tersebut, khususnya hati, agar manusia mempunyai tingkah laku yang baik, dan
hal ini sangatlah penting dalam menjalin hubungan antarmanusia karena tentunya
sesorang tidak akan mau atau enggan bergaul dengan seseorang yang tidak
beretika dan bermoral. Mengapa manusia perlu beretika? Pada dasarnya adalah
karena setiap manusia ingin dihargai satu sama lain. Manusia secara naluriah
ingin menciptakan citra yang baik tentang dirinya kepada manusia lain. Untuk
alasan itulah manusia beretika. Tentu bisa kita bayangkan apa jadinya dunia ini
jika seluruh manusia tidak memiliki etika. Mungkin kita semua akan kembali
menjadi masyarakat barbarian.
Contoh Etika dalam
kehidupan sehari-hari
Sebuah contoh sederhana
mengenai etika adalah ketika seseorang bermaksud untuk menelepon temannya,
tetapi orang tersebut menelepon di jam 11 malam. Sekalipun orang yang ditelepon
tersebut adalah sahabat dekatnya, atau dia tahu bahwa sahabatnya tersebut
biasanya baru tidur di atas jam 12 malam, atau bahkan sahabatnya itu hanya
tinggal sendiri di rumahnya, tetap saja bahwa keputusan orang tersebut untuk
menelepon pada jam 11 malam dianggap tidak etis. Hal ini dianggap tidak etis
karena nilai yang berkembang di masyarakat kita adalah bahwa di atas jam 9 atau
jam 10 malam sudah menjadi “jam pribadi” bagi seseorang, dalam arti tidak bisa
diganggu lagi untuk masalah atau urusan apa pun, kecuali hal tersebut memang
bersifat mendesak (urgent), sehingga bila ada seseorang yang menelepon di atas
jam 10 malam akan dianggap tidak etis, apalagi jika hanya untuk membahas
hal-hal yang sebenarnya bisa ditunggu hingga keesokan harinya.
Dari contoh sederhana
tersebut dapat kita lihat bahwa betapa pentingnya etika dalam kehidupan
sehari-hari kita. Etika sangat penting dalam membina hubungan atau relasi kita
dengan orang lain. Secara tidak sadar orang yang beretika akan memiliki
hubungan yang lebih baik dengan orang lain daripada yang kurang atau bahkan
tidak memperhatikan etika. Orang yang beretika pun akan lebih dipandang dan
dihargai oleh orang lain walaupun dia tidak pernah meminta atau berharap untuk
hal tersebut. Hal penting lainnya adalah bahwa etika sangat berperan dalam
pembentukan citra diri seseorang, terlepas dari apakah orang tersebut ikhlas
atau tidak, tapi ketika dia tahu mana yang etis dan yang tidak etis, setidaknya
orang-orang akan melihat orang tersebut sebagai seseorang yang beretika dan
berperilaku baik, dan salah satu manfaatnya adalah untuk dirinya sendiri.
Lalu bagaimana dengan
orang-orang yang tidak memperhatikan etika? Etika tidaklah seperti hukum yang
memiliki sejumlah peraturan dan perundangan yang bisa memaksa manusia untuk
patuh terhadap hukum yang berlaku. Dalam hukum bila ada seorang yang melanggar
hukum tentu, baik secara sengaja maupun tidak sengaja akan mendapatkan sanksi
sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan (diproses secara hukum). Sementara
itu etika bukanlah suatu hal tertulis dan bukan suatu hal yang memiliki
konsekuensi-konsekuensi seperti sanksi hukum bagi yang melanggar aturan-aturan
yang berlaku. Karena ukuran dari etika adalah ‘baik dan buruk’ atau ‘pantas
atau tidak pantas’, orang-orang yang melanggar nilai-nilai etika tidak akan
mendapatkan sanksi layaknya sanksi hukum. Mereka yang melanggar etika akan
mendapatkan sanksi yang berupa sanksi sosial. Sanksi sosial ini bisa berupa
cibiran dari orang-orang sampai dengan pengucilan atau bahkan pengasingan untuk
kasus pelanggaran etika yang sangat berat. Beberapa orang mungkin tidak begitu
menganggap etika sebagai suatu hal serius karena melihat dari konsekuensinya
yang hanya berupa sanksi sosial. Seseorang tidak akan didenda ratusan juta
rupiah atau bahkan masuk penjara hanya karena tidak memberikan tempat duduk
untuk seorang orang tua, terutama ibu-ibu, di dalam sebuah kereta. Orang
tersebut mungkin hanya akan menjadi sedikit perhatian bagi penumpang lainnya,
menjadi sedikit pembicaraan bahwa orang tersebut tidak seharusnya berdiam diri
dan membiarkan orang tua tersebut berdiri sementara dia yang masih muda, dalam
arti masih lebih kuat secara fisik, duduk di tempat duduk tersebut. Karena
itulah orang-orang terkadang tidak begitu menghiraukan masalah etika.
Kebanyakan orang lebih sibuk dengan kepentingan dirinya sendiri tanpa lagi
melihat baik atau buruk dan pantas atau tidak pantas. Hal ini tentu kembali
kepada hati tiap manusia karena etika berhubungan dengan rasa, dan rasa ini dirasakan
di dalam hati manusia. Hati manusialah yang bisa menilai etis atau tidak
etisnya tingkah laku yang dia perbuat. Jika seseorang masih memiliki rasa etika
dalam dirinya tentu orang tersebut memiliki hubungan dan citra yang baik di
dalam masyarakat, tapi sebaliknya jika seseorang tidak mempedulikan etika
tentunya orang tersebut akan dipandang “berbeda” dari lingkungan dan masyarakat
karena dianggap tidak dapat melihat dan merasakan mana hal yang baik atau buruk
dan pantas atau tidak pantas.
Etika
Dalam Dunia Bisnis
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk
melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan
kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang
bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin
kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok
masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu
tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan
dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh
orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait
lainnya.
Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut
hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara
nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika
dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik
pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu
pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang
mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan
menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh
kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk
menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian
antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global
yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam
perekonomian.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah
1. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang
terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh
apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis
sendiri tidak mendapatkan keuntungan
dengan jalan main curang dan menekan pihak
lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain
dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi
pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat
sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli
dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan
jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai
contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat
harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan
kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk
meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku
bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab
terhadap masyarakat sekitarnya.
3. Mempertahankan jati
diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan
informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan
informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan
untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan
budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk
meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan
yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku
bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya
perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan
sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan
yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan
keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan
keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak
meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal
mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun
saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari sifat 5K
(Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari
sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan
korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis
ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak
wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa
dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi"
serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan
memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi"
kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan sikap
saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang
"kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha
kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang
bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan
itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya
memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah
dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah
disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah
ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen
dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis
telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri
maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi
kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur"
satu semi satu.
10. Menumbuhkembangkan
kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua
pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang
dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari
etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah.
Pelanggaran etika bisnis itu dapat melemahkan daya saing hasil industri dipasar
internasional. Ini bisa terjadi sikap para pengusaha kita.
Lebih parah lagi bila pengusaha Indonesia menganggap
remeh etika bisnis yang berlaku secara umum dan tidak pengikat itu.
Kecenderungan makin banyaknya pelanggaran etika bisnis membuat
keprihatinan banyak pihak. Pengabaian etika bisnis dirasakan akan membawa
kerugian tidak saja buat masyarakat, tetapi juga bagi tatanan ekonomi nasional.
Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak memperhatikan etika bisnis akan
menghancurkan nama mereka sendiri dan negara.
Contoh Etika dalam dunia
bisnis
“Ku kira coklat, nggak taunya broklat, perutku jadi kacau berat,
nggk! Nggk momo lagi”. Demikian sebuah persyaratan yang diperankan oleh seorang
anak bertubuh tambun dalam sebuah iklan kudapan coklat bermerk “Gery Toya-Toya”
produksi Garuda Food, yang ditampilkan dalam iklan di berbagai televisi
nasional. Sekilas iklan tersebut biasa saja, namun sesungguhnya memuat pesan
yang menyerang pesaingnya bernama “Momogi” kudapan buatan perusahaan lain.
Dilain pihak beberapa iklan di televisi menampilkan produk toiletris
seperti sabun mandi, atau perawatan kulit, yang secara sengaja mengumbar
kulit mulus wanita cantik, atau kita juga disugukan oleh iklan obat sekali
minum sembuh, padahal proses penyembuhan penyakit tidak sesederhana itu.
Tayangan sinetron di televisi menyiarkan film-film berbau sex, kekerasan,
mistik, horor, dan menampilkan kemewahan ekonomi yang sesungguhnya bukan
merupakan kondisi riil masyarakat kita.
Apa yang dibahas di atas merupakan gambaran betapa sebagian
orang atau organisasi melakukan berbagai cara untuk menjual produknya baik
dengan cara menyerang pesaingnya, mengumbar aurat atau melakukan
kebohongan publik. Apakah bisnis merupakan profesi etis? Atau sebaliknya
ia menjadi profesi kotor? Kalau profesi kotor penuh tipu menipu, mengapa begitu
banyak oran yang menekuninya bahkan bangga dengan itu? Lalu kalau ini profesi
kotor betapa mengerikan masyarakat modern ini yang didominasi oleh kegiatan
bisnis ini. Bisnis modern merupakan realitas yang amat kompleks banyak faktor
yang turut mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis salah
satunya adalah etika.
Etika Teleologi
Teleologi berasal dari
bahas kata Yunani telos , yang berarti akhir, tujuan, maksud, dan logos
perkataan. Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan
segala kejadian menuju pada tujuan tertentu. Istilah teleologi dikemukakan oleh
Christian Wolff, seorang filsuf Jerman abad XVIII. Teleologi merupakan sebuah
studi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan keteraturan, rancangan, tujuan,
akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal-hal ini dicapai
dalam suatu proses perkembangan. Dalam arti umum, teleologi merupakan sebuah
studi filosofis mengenai bukti perencanaan, fungsi, atau tujuan di alam maupun
dalam sejarah. Dalam bidang lain, teleologi merupakan ajaran filosofis-religius
tentang eksistensi tujuan dan “kebijaksanaan” objektif di luar manusia.
Etika teleologi mengukur
baik dan buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan
tindakan itu atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu.
Artinya, teleologi bisa diartikan sebagai pertimbangan moral akan baik buruknya
suatu tindakan yang dilakukan. Teleologi mengerti benar mana yang benar, dan
mana yang salah, tetapi itu bukan ukuran yang terakhir. Yang lebih penting
adalah tujuan dan akibat. Walaupun sebuah tindakan dinilai salah menurut hukum,
tetapi jika itu bertujuan dan berakibat baik, maka tindakan itu dinilai baik.
Namun dengan demikian, tujuan yang baik tetap harus diikuti dengan tindakan
yang benar menurut hukum.
Menurut Kant, setiap norma dan dan kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu
saja dalam setiap situasi.Jadi, sejalan dengan pendapat Kant, etika teleologi
lebih bersifat situasional karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat
tergantung pada situasi khusus tertentu. Berdasarkan pembahasan etika teleologi
ini muncul aliran-aliran teleologi, yaitu egoisme dan utilitarianisme :
1.
Egosime adalah pandangan bahwa tindakan setiap orang bertujuan
untuk mengejar kepentingan atau memajukan dirinya sendiri. Egoisme bisa menjadi
persoalan serius ketika secara signifikan berhubungan dengan hedonism, yaitu
ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi semata-mata hanya kenikmatan fisik
yang bersifat vulgar. Artinya, yang baik secara moral disamakan begitu saja
dengan kesenangan dan kenikmatan.
2.
Utilitarianisme adalah penilaian suatu perbuatan berdasarkan
baik dan buruknya tindakan atau kegiatan yang bertumpu pada tujuan atau akibat
dari tindakan itu sendiri bagi kepentingan orang banyak. Utilitarianisme bahkan
bisa membenarkan suatu tindakan yang secara deontologis tidak etis sebagai
tindakan yang baik dan etis, yaitu ketika ternyata tujuan atau akibat dari
tindakan itu bermanfaat bagi bayak orang. Utilitarianisme sangat menghargai
kebebasan setiap pelaku moral. Tidak ada paksaan bahwa seseorang harus
beritndak dengan cara tertentu yang mungkin tidak diketahui alasannya mengapa
demikian. Jadi, suatu tindakan baik diputuskan dan dipilih berdasarkan kriteria
yang rasional dan bukan sekedar mengikuti tradisi atau perintah tertentu.
Etika Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon, yang berarti
kewajiban. Karena itu etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk
bertindak secara baik. Menurut etika deontologi, suatu tindakan itu baik bukan
dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dan tindakan itu,
melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri.
Dengan kata lain, tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan
berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau
akibat dari tindakan itu. Misalnya, suatu tindakan bisnis akan dinilai baik
oleh etika deontologi bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik pada
pelakunya, melainkan karena tindakan itu sejalan dengan kewajiban si pelaku
untuk, misalnya memberikan pelayanan yang baik kepada semua konsumen, untuk
mengembalikan utangnya sesuai dengan kesepakatan, untuk menawarkan barang dan
jasa dengan mutu yang sebanding dengan harganya, dan sebagainya. Jadi, nilai
tindakan itu tidak ditentukan oleh akibat atau tujuan baik dari tindakan itu.
Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan
watak yang kuat dari pelaku. Atau sebagaimana dikatakan Immanuel Kant
kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya sendiri terlepas dari apapun juga.
Maka, dalam menilai seluruh tindakan kita, kemauan baik harus selalu dinilai
paling pertama dan menjadi kondisi dari segalanya.
Menurut Kant, kemauan baik adalah syarat mutlak untuk bertindak secara moral.
Karena itu, ia menjadi kondisi yang mau tidak mau harus dipenuhi agar manusia
dapat bertindak secara baik, sekaligus membenarkan tndakannya itu. Maksudnya,
bisa saja akibat dari suatu tindakan memang baik, tetapi kalau tindakan itu
tidak dilakukan berdasarkan kemauan baik untuk menaati hukum moral yang
merupakan kewajiban seseorang, tindakan itu tidak bisa dinilai baik. Karena,
akibat baik tadi bisa saja hanya merupakan hal yang kebetulan. Atas dasar ini,
menurut Kant tindakan yang baik adalah tindakan yang tidak saja sesuai dengan
kewajiban melainkan juga yang dijalankan demi kewajiban. Konsekuensi, ia
menolak semua tindakan yang bertentangan dengan kewajiban sebagai tindakan yang
baik, bahkan walaupun tindakan itu tidak berguna. Demikian pula, semua tindakan
yang dijalankan sesuai dengan kewajiban tetapi tidak dijalankan berdasarkan
kemauan baik melainkan hanya karena dipaksa atau terpaksa dianggapnya sebagai
tindakan yang tidak baik. Secara singkat, ada tiga prinsip yang harus dipenuhi
:
1. supaya suatu tindakan punya nilai moral, tindakan itu harus
dijalankan berdasarkan kewajiban.
2. Nilai moral dari
tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu
melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan
tindakan itu, berarti kalaupun tujuannya tidak tercapai, tindakan itu sudah
dinilai baik.
3. sebagai konsekuensi
dari kedua prinsip itu, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang
dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.
Bagi Kant, hukum moral
telah tertanam dalam hati setiap orang dan karena itu bernilai universal. Hukum
moral ini dianggapnya sebagai perintah tak bersyarat, yang berarti hukum moral
ini berlaku bagi semua orang pada segala situasi dan tempat. Karena itu, huum
moral ini mengikat siapa saja dari dalam dirinya sendiri karena hukum moral ini
berasal dari dalam dirinya sendiri.
Untuk menjelaskan makna
perintah tak bersyarat ini, Kant membedaknnya dari perintah bersyarat. Perintah
bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan kalau orang menghendaki akibatnya,
atau kalau akibat dari tindakan ini merupakan hal yang diinginkan dan
dikehendaki oleh orang tersebut. Sedangkan perintah tak bersyarat adalah
perintah yang dilaksanakan begitu saja tanpa syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan
akibatnya, atau tanpa mempedulikan apakah akibatnya tercapai dan berguna bagi
orang tersebut atau tidak. Ada dua kesulitan yang dapat diajukan terhadap teori
deontologi khususnya terhadap pandangan-pandangan Kant. Pertama , bagaimana
jadinya apabila seseorang dihadapkan pada dua perintah atau kewajiban moral
dalam suatu situasi yang sama, tetapi keduanya tidak bisa dilaksanakan
sekaligus, bahkan keduanya saling meniadakan. Misalnya seorang karyawan diancam
akan dibunuh atau dipecat kalau ia sampai membongkar kekurangan yang dilakukan
oleh rekan-rekan sekerjanya, tetapi dipihak lain ia dihadapkan pada perintah
atau kewajiban untuk melindungi dirinya dan hidupnya ( dan mungkin juga nasib
istri dan anaknya). Menurut etika deontologi Kant, kejujuran harus ditegakan
terlepas dari akibat bagi dirinya. Namun dipihak lain, deontologi Kant
mewajibkan orang itu untuk melindungi dirinya, terlepas dari apakah akibatnya
ia harus mendiamkan kucurangan itu atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA
N.Nuryesrnan M, Moral dan
Etika Dalam Dunia Bisnis, Bank dan Manajemen, Mei/Juni 1996.
Purba Victor, Hukum
Bisnis Dalam Kegiatan Bisnis Para Manajer, Manajemen, 1993.
Dunia Bisnis, Warta
Ekonomi, No. 29, Desember 1994.
ETIKA
PENGERTIAN ETIKA
1. Teori Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” ( adat kebiasaan). Etika merupakan bagian dalam pelajaran filsafat yang berarti :
a. Ilmu tentang tingkah laku manusia, prinsip-prinsip yang disistematisir tentang tindakan moral yang betul (Webster’s Dict)
b. Bagian Filsafat yang memperkembangkan teori tentang tindakan, tujuan yang diarahkan kepada makna tindakan (Ensiklopedi Winkler Prins)
c. Ilmu tentang filsapat moral, tidak mengenal fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenal sifat tindakan manusia, tetapi idenya karena itu bukan ilmu yang positif, tetapi ilmu yang formatif (New American encyl)
d. Ilmu tentang Moral(Prinsip); kaidah-kaidah; moral tentang tindakan dan kelakukan (A.S Hornby Dict)
2. Dari Sudut Pandang Filsafat
Etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui akal fikiran. Mencari kesamaan ide seluruh manusia atas dasar perbuatan, tempat, waktu, kondisi tentang ukuran tingkah laku manusia tentang baik buruk berdasarkan akal fikiran manusia.
Etika adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia. Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).
3. Dari Sudut Pandang Agama Islam
Etika dalam sudut agama adalah sebagai perangkat nilai yang tidak terhingga dan agung yang bukan saja berisikan sikap, perilaku secara normatif, yaitu dalam bentuk hubungan manusia dengan Tuhan (iman), melainkan wujud dari hubungan manusia terhadap Tuhan, manusia dan alam semesta dari sudut pandang historisitas. Etika sebagai fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan pengalaman keberagamaan seseorang. Maka setiap ajaran agama menganjurkan kepada manusia untuk menjunjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian, kejujuran dan keadilan. Etika dalam ajaran agama akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang dan perilaku manusia dalam hubungan sosial yang ditujukan hanya dan untuk mengabdi pada Tuhan, bukan ada pamrih di dalamnya.
Etika dalam islam adalah sebagai perangkat nilai yang tidak terhingga dan agung yang bukan saja berisikan sikap, perilaku secara normative, yaitu dalam bentuk hubungan manusia dengan tuhan (iman), melainkan wujud dari hubungan manusia terhadap Tuhan, Manusia dan alam semesta dari sudut pangan historisitas. Etika sebagai fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan pengalaman keberagamaan seseorang. Maka Islam menganjurkan kepada manusia untuk menjungjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian, kejujuran, dan keadilan. Etika dalam islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang dan perilaku manusia dalam hubungan social hanya dan untuk mengabdi pada Tuhan, buka ada pamrih di dalamnya. Di sinilah peran orang tua dalam memberikan muatan moral kepada anak agar mampu memahami hidup dan menyikapinya dengan bijak dan damai sebagaimana Islam lahir ke bumi membawa kedamaian untuk semesta (rahmatan lilalamain).
Tugas Etika Profesi
Akuntansi (Minggu 2)
Nama : Ardiprawiro
Kelas : 4EB11
NPM : 20208171
Hubungan kode etik dengan norma pemeriksaan
akuntansi
Etika (Yunani Kuno: “ethikos“,
berarti “timbul dari kebiasaan”) adalah cabang utama filsafat yang mempelajari
nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral.
Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk,
dan tanggung jawab.
Etika dimulai bila manusia merefleksikan
unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi
itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda
dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari
tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai
perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis,
dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu
ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan
tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia,
etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik
dan buruk terhadap perbuatan manusia.
Profesi adalah pekerjaan yang
membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu
profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi
dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah
pada bidang hukum, kedokteran, keuangan, militer, teknik dan desainer.
Seseorang yang memiliki suatu profesi
tertentu, disebut profesional. Walaupun begitu, istilah profesional juga
digunakan untuk suatu aktivitas yang menerima bayaran, sebagai lawan kata dari
amatir.
Seorang profesional, dalam pekerjaannya harus
menaati aturan yang bernama etika profesi. Etika profesi menjadi batasan
perilaku seorang profesional dalam melakukan pekerjaannya dimana etika profesi
menjaga profesional untuk berlaku baik dan benar sesuai dengan pekerjaannya.
Dalam aturan/batasan dalam etika profesi
disebut kode etik profesi. Dalam kode etik profesi ada beberapa poin yang menjadi
pedoman bagi para profesional dalam melakukan pekerjaannya.
1)
Tanggung jawab profesi
2)
Kepentingan publik
3)
Integritas
4)
Objektivitas
5)
Kompetensi dan kehati-hatian profesional
6)
Kerahasiaan
7)
Perilaku profesional
8)
Standar teknis
Kedelapan poin kode etik profesi diatas
merupakan batasan perilaku profesional dalam pekerjaannya dan menjadi dasar
norma pemeriksaan akuntansi.
ETIKA
1. Etika (Yunani Kuno: "ethikos",
berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian
moral. Etika
mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Etika dimulai bila manusia merefleksikan
unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi
itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang
berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk
mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal
menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis,
metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan
suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia.
Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku
manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari
sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.
2. Etika dalam kehidupan
sehari - hari
Sebagai
makhluk sosial kita tidak bisa lepas tanpa kehadiran orang lain setiap tindakan
kita sekecil apa pun pasti butuh bantuan orang lain contohnya saat kita
tersenyum kita tak bisa tersenyum tanpa bantuan orang lain kita bisa saja
tersenym sendiri tapi jangan salahkan orang lain bila di anggap kita gila.Dalam
kehidupan bermasarakat kita bergaul dengan berbagai pribadi yang berbeda dari
bermacam suku agama dan keyakinan dan semua itu kita butuh etika atau aturan
dalam pergaulan sehari.Bila kita dalam bergaul tidak punya etika atau aturan
sudah di pastikan kita tak bisa punya banyak teman dan di jauhkan dari
kehidupan.Berikut beberapa etika dalam kehidupan sehari hari yang saya ambil
dari kotasantri.com.
Berbicara
1. Hendaknya pembicaran selalu di dalam
kebaikan. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, “Tidak ada kebaikan pada
kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh
(manusia) memberi sedekah atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di
antara manusia.” (QS. An-Nisa : 114).
2. Hendaknya pembicaran dengan suara yang
dapat didengar, tidak terlalu keras, dan tidak pula terlalu rendah, ungkapannya
jelas dapat difahami oleh semua orang dan tidak dibuat-buat atau
dipaksa-paksakan.
3. Jangan membicarakan sesuatu yang tidak
berguna bagimu. Hadits Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menyatakan,
“Termasuk kebaikan Islamnya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak
berguna.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
4. Janganlah kamu membicarakan semua apa
yang kamu dengar. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu di dalam haditsnya menuturkan
: Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda, ”Cukuplah menjadi
suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia
dengar.” (HR. Muslim).
5. Menghindari perdebatan dan saling
membantah, sekalipun kamu berada di fihak yang benar dan menjauhi perkataan
dusta sekalipun bercanda. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda,
“Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang
menghindari pertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin) istana
di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun
bercanda.” (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
6. Tenang dalam berbicara dan tidak
tergesa-gesa. Aisyah RA telah menuturkan, “Sesungguhnya Nabi Shallallaahu alaihi
wa Salam apabila membicarakan suatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang
menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya.” (Muttafaq ’alaih).
7. Menghindari perkataan jorok (keji).
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Seorang mu’min itu pencela
atau pengutuk atau keji pembicaraannya.” (HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab
Mufrad, dan dishahihkan oleh Al-Albani).
8. Menghindari sikap memaksakan diri dan
banyak bicara di dalam berbicara. Di dalam hadits Jabir Radhiallaahu anhu
disebutkan, “Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci dan yang paling
jauh dariku di hari Kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara, orang yang
berpura-pura fasih, dan orang-orang yang mutafaihiqun.” Para shahabat bertanya,
“Wahai Rasulllah, apa arti mutafaihiqun?” Nabi menjawab, “Orang-orang yang
sombong.” (HR. At-Turmudzi, dinilai hasan oleh Al-Albani).
9. Menghindari perbuatan menggunjing
(ghibah) dan mengadu domba. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, “Dan
janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.” (QS. Al-Hujurat : 12).
10. Mendengarkan pembicaraan orang lain
dengan baik dan tidak memotongnya, juga tidak menampakkan bahwa kamu mengetahui
apa yang dibicarakannya, tidak menganggap rendah pendapatnya atau
mendustakannya.
11. Jangan memonopoli dalam berbicara,
tetapi berikanlah kesempatan kepada orang lain untuk berbicara.
12. Menghindari perkataan kasar, keras, dan
ucapan yang menyakitkan perasaan dan tidak mencari-cari kesalahan pembicaraan
orang lain dan kekeliruannya, karena hal tersebut dapat mengundang kebencian,
permusuhan dan pertentangan.
13. Menghindari sikap mengejek,
memperolok-olok, dan memandang rendah orang yang berbicara. Allah Subhannahu wa
Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum
mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan)
lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan), dan jangan pula wanita-wanita
(mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang
diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan).” (QS.
Al-Hujurat : 11).
Bercanda
1. Hendaknya percandaan tidak mengandung
nama Allah, ayat-ayat-Nya, Sunnah rasul-Nya, atau syi’ar-syi’ar Islam. Karena
Allah telah berfirman tentang orang-orang yang memperolok-olokan shahabat Nabi
Shallallaahu alaihi wa Salam, yang ahli baca Al-Qur’an, “Dan jika kamu tanyakan
kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan), tentulah mereka menjawab,
“Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah,
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah
: 65-66).
2. Hendaknya percandaan itu adalah benar
tidak mengandung dusta. Dan hendaknya pecanda tidak mengada-ada cerita-cerita khayalan
supaya orang lain tertawa. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda,
“Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta supaya dengannya orang
banyak jadi tertawa. Celakalah baginya dan celakalah.” (HR. Ahmad dan dinilai
hasan oleh Al-Albani).
3. Hendaknya percandaan tidak mengandung
unsur menyakiti perasaan salah seorang di antara manusia. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Janganlah seorang di antara kamu
mengambil barang temannya apakah itu hanya canda atau sungguh-sungguh; dan jika
ia telah mengambil tongkat temannya, maka ia harus mengembalikannya kepadanya.”
(HR. Ahmad dan Abu Daud; dinilai hasan oleh Al-Albani).
4. Bercanda tidak boleh dilakukan terhadap
orang yang lebih tua darimu, atau terhadap orang yang tidak bisa bercanda atau
tidak dapat menerimanya, atau terhadap perempuan yang bukan mahrammu.
Hendaknya anda tidak memperbanyak canda hingga menjadi tabiatmu, dan jatuhlah wibawamu dan akibatnya kamu mudah dipermainkan oleh orang lain.
Hendaknya anda tidak memperbanyak canda hingga menjadi tabiatmu, dan jatuhlah wibawamu dan akibatnya kamu mudah dipermainkan oleh orang lain.
Bergaul dengan Orang Lain
1. Hormati perasaan orang lain, tidak
mencoba menghina atau menilai mereka cacat.
2. Jaga dan perhatikanlah kondisi orang,
kenalilah karakter dan akhlaq mereka, lalu pergaulilah mereka, masing-masing
menurut apa yang sepantasnya.
3. Mendudukkan orang lain pada kedudukannya
dan masing-masing dari mereka diberi hak dan dihargai.
4. Perhatikanlah mereka, kenalilah keadaan
dan kondisi mereka, dan tanyakanlah keadaan mereka.
5. Bersikap tawadhu’lah kepada orang lain
dan jangan merasa lebih tinggi atau takabbur dan bersikap angkuh terhadap
mereka.
6. Bermuka manis dan senyumlah bila anda
bertemu orang lain.
7. Berbicaralah kepada mereka sesuai dengan
kemampuan akal mereka.
8. Berbaik sangkalah kepada orang lain dan
jangan memata-matai mereka.
9. Mema’afkan kekeliruan mereka dan jangan
mencari-cari kesalahan-kesalahannya, dan tahanlah rasa benci terhadap mereka.
10. Dengarkanlah pembicaraan mereka dan
hindarilah perdebatan dan bantah-membantah dengan mereka.
Bertetangga
1. Menghormati tetangga dan berprilaku baik
terhadap mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, sebagaimana
di dalam hadits Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, “Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya.” Dan di
dalam riwayat lain disebutkan, “Hendaklah ia berprilaku baik terhadap
tetangganya.” (Muttafaq’alaih).
2. Bangunan yang kita bangun jangan
mengganggu tetangga kita, tidak membuat mereka tertutup dari sinar matahari
atau udara, dan kita tidak boleh melampaui batasnya, apakah merusak atau
mengubah miliknya, karena hal tersebut menyakiti perasaannya.
3. Hendaknya kita memelihara hak-haknya di
saat mereka tidak di rumah. Kita jaga harta dan kehormatan mereka dari
tangan-tangan orang jahil; dan hendaknya kita ulurkan tangan bantuan dan pertolongan
kepada mereka yang membutuhkan, serta memalingkan mata kita dari wanita mereka
dan merahasiakan aib mereka.
4. Tidak melakukan suatu kegaduhan yang
mengganggu mereka, seperti suara radio atau TV, atau mengganggu mereka dengan
melempari halaman mereka dengan kotoran, atau menutup jalan bagi mereka.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda, “Demi Allah, tidak
beriman; demi Allah, tidak beriman; demi Allah, tidak beriman!” Nabi ditanya,
“Siapa, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Adalah orang yang tetangganya tidak
merasa tentram karena perbuatannya.” (Muttafaq’alaih).
5. Jangan kikir untuk memberikan nasihat
dan saran kepada mereka, dan seharusnya kita ajak mereka berbuat yang ma’ruf
dan mencegah yang munkar dengan bijaksana (hikmah) dan nasihat baik tanpa
maksud menjatuhkan atau menjelek-jelekkan mereka.
6. Hendaknya kita selalu memberikan makanan
kepada tetangga kita. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda kepada
Abu Dzarr, “Wahai Abu Dzarr, apabila kamu memasak sayur (daging kuah), maka
perbanyaklah airnya dan berilah tetanggamu.” (HR. Muslim).
7. Hendaknya kita turut bersuka cita di
dalam kebahagiaan mereka dan berduka cita di dalam duka mereka; kita jenguk
bila ia sakit, kita tanyakan apabila ia tidak ada, bersikap baik bila
menjumpainya; dan hendaknya kita undang untuk datang ke rumah. Hal-hal seperti
itu mudah membuat hati mereka jinak dan sayang kepada kita.
8. Hendaknya kita tidak mencari-cari
kesalahan/kekeliruan mereka dan jangan pula bahagia bila mereka keliru, bahkan seharusnya
kita tidak memandang kekeliruan dan kealpaan mereka.
9. Hendaknya kita sabar atas prilaku kurang
baik mereka terhadap kita. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda,
“Ada tiga kelompok manusia yang dicintai Allah. –Disebutkan di antaranya- :
Seseorang yang mempunyai tetangga, ia selalu disakiti (diganggu) oleh
tetangganya, namun ia sabar atas gangguannya itu hingga keduanya dipisah oleh
kematian atau keberangkatannya.” (HR. Ahmad).
Etika dalam berbisnis
Etika
sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan
mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang
harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus
disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok
yang terkait lainnya. Mengapa ? Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut
hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara
nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika
dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik
pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu
pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang
mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan
menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh
kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk
menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian
antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global
yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam
perekonomian. Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, antara lain ialah
1. Pengendalian
diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak
yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak
memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku
bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan
menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan
menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu
merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan
kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli
dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan
jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai
contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat
harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan
kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk
meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku
bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab
terhadap masyarakat sekitarnya.
3. Mempertahankan
jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan
informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti
perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus
dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak
kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan
teknologi.
4. Menciptakan
persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk
meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan
yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku
bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya
perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan
sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan
yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan konsep “pembangunan
berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan
keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan
keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak
meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal
mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun
saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece,
Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari
sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan
korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis
ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang
tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak
bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari
"koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang
salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan
"komisi" kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara
golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang
"kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha
kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang
bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini
kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah
waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan
berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan
main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah
ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen
dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis
telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri
maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi
kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur"
satu semi satu.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa
memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua
pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang
dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari
etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah.
Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini
sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin
pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan
etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya,
kita yakin jurang itu akan dapat diatasi, serta optimis salah satu kendala
dalam menghadapi tahun 2000 dapat diatasi.
3. Etika Teleologi
Teleologi berasal dari bahas kata Yunani telos (Ï„Îλος),
yang berarti akhir, tujuan, maksud, dan logos (λόγος),
perkataan. Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan segala
kejadian menuju pada tujuan tertentu. Istilah teleologi dikemukakan oleh
Christian Wolff, seorang filsuf Jerman abad XVIII. Teleologi merupakan sebuah
studi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan keteraturan, rancangan, tujuan,
akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal-hal ini dicapai
dalam suatu proses perkembangan. Dalam arti umum, teleologi merupakan sebuah
studi filosofis mengenai bukti perencanaan, fungsi, atau tujuan di alam maupun
dalam sejarah. Dalam bidang lain, teleologi merupakan ajaran filosofis-religius
tentang eksistensi tujuan dan “kebijaksanaan” objektif di luar manusia.
Contoh : kewajiban untuk menepati janji
Etika Deontologi
Dalam
pemahaman teori Deontologi memang terkesan berbeda dengan Utilitarisme. Jika
dalam Utilitarisme menggantungkan moralitas perbuatan pada konsekuensi, maka
dalam Deontologi benar-benar melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi
perbuatan. ”Deontologi” ( Deontology ) berasal dari kata dalam Bahasa Yunani
yaitu : deon yang artinya adalah kewajiban. Dalam suatu perbuatan pasti ada
konsekuensinya, dalam hal ini konsekuensi perbuatan tidak boleh menjadi pertimbangan.
Perbuatan menjadi baik bukan dilihat dari hasilnya melainkan karena perbuatan
tersebut wajib dilakukan. Deontologi menekankan perbuatan tidak dihalalkan
karena tujuannya. Tujuan yang baik tidak menjadi perbuatan itu juga baik. Di
sini kita tidak boleh melakukan suatu perbuatan jahat agar sesuatu yang
dihasilkan itu baik, karena dalam Teori Deontologi kewajiban itu tidak bisa
ditawar lagi karena ini merupakan suatu keharusan.
Contoh : kita tidak boleh mencuri, berbohong kepada orang
lain melalui ucapan dan perbuatan
0 Komentar