Lembaga blog of tasiah komputer @life skill education I pendidikan komputer I Blog yang berisi Informasi Pendidikan # Ayo Kursus

"ETIKA"


Etika
ETIKA

Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia. Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).
Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini :
      Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalamberprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
      Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentangtingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yangdapat ditentukan oleh akal.
      -Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.

Dalam kehidupan bermasyarakat kita semua hidup berdasarkan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Dalam lingkungan masyarakat pula kita sering mendengar istilah kata ‘etis’ dan ‘tidak etis’. Baik istilah kata ‘etis’ maupun ‘tidak etis’ keduanya digunakan oleh manusia untuk menggambarkan dan menilai suatu bentuk perilaku yang dianggap ‘baik atau buruk’ dan ‘pantas atau tidak pantas’. Penilaian manusia terhadap suatu tingkah laku berupa ‘etis’ atau ‘tidak etis’ ini berdasarkan atau bersumber pada hati nurani manusia itu sendiri dan ditambah dengan adanya nilai-nilai lain yang berkembang di lingkungan tersebut, seperti nilai-nilai adat.
Nilai-nilai etika tidak hanya penting bagi kehidupan kita saja, melainkan juga untuk semua umat manusia di dunia. Kita tahu bahwa manusia adalah makhluk sosial yang berarti manusia tidak bisa tidak berinteraksi dengan manusia lain. Segala kegiatan dan pekerjaan manusia selalu berhubungan dengan manusia lain dan juga berdampak pada manusia lain pula. Dalam menjalin hubungan antarmanusia tentu dibutuhkan suatu pandangan terhadap nilai baik atau buruknya suatu perilaku, seperti hal apa yang baik untuk dilakukan dan hal apa yang sebaiknya tidak dilakukan atau bahkan dilarang untuk dilakukan. Hal ini ditujukan agar manusia lebih menggunakan hati nuraninya dalam melihat berbagai hal di lingkungannya berkaitan dengan yang baik atau buruk. Etika dalam hal ini berfungsi untuk lebih “memanusiakan manusia”. Mengapa demikian? Karena salah satu ciri dan anugerah yang dimiliki manusia adalah adanya hati atau perasaan dan juga akal pikiran. Etika mengajak manusia untuk lebih menggunakan kedua anugerah tersebut, khususnya hati, agar manusia mempunyai tingkah laku yang baik, dan hal ini sangatlah penting dalam menjalin hubungan antarmanusia karena tentunya sesorang tidak akan mau atau enggan bergaul dengan seseorang yang tidak beretika dan bermoral. Mengapa manusia perlu beretika? Pada dasarnya adalah karena setiap manusia ingin dihargai satu sama lain. Manusia secara naluriah ingin menciptakan citra yang baik tentang dirinya kepada manusia lain. Untuk alasan itulah manusia beretika. Tentu bisa kita bayangkan apa jadinya dunia ini jika seluruh manusia tidak memiliki etika. Mungkin kita semua akan kembali menjadi masyarakat barbarian.

Contoh Etika dalam kehidupan sehari-hari
Sebuah contoh sederhana mengenai etika adalah ketika seseorang bermaksud untuk menelepon temannya, tetapi orang tersebut menelepon di jam 11 malam. Sekalipun orang yang ditelepon tersebut adalah sahabat dekatnya, atau dia tahu bahwa sahabatnya tersebut biasanya baru tidur di atas jam 12 malam, atau bahkan sahabatnya itu hanya tinggal sendiri di rumahnya, tetap saja bahwa keputusan orang tersebut untuk menelepon pada jam 11 malam dianggap tidak etis. Hal ini dianggap tidak etis karena nilai yang berkembang di masyarakat kita adalah bahwa di atas jam 9 atau jam 10 malam sudah menjadi “jam pribadi” bagi seseorang, dalam arti tidak bisa diganggu lagi untuk masalah atau urusan apa pun, kecuali hal tersebut memang bersifat mendesak (urgent), sehingga bila ada seseorang yang menelepon di atas jam 10 malam akan dianggap tidak etis, apalagi jika hanya untuk membahas hal-hal yang sebenarnya bisa ditunggu hingga keesokan harinya.
Dari contoh sederhana tersebut dapat kita lihat bahwa betapa pentingnya etika dalam kehidupan sehari-hari kita. Etika sangat penting dalam membina hubungan atau relasi kita dengan orang lain. Secara tidak sadar orang yang beretika akan memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain daripada yang kurang atau bahkan tidak memperhatikan etika. Orang yang beretika pun akan lebih dipandang dan dihargai oleh orang lain walaupun dia tidak pernah meminta atau berharap untuk hal tersebut. Hal penting lainnya adalah bahwa etika sangat berperan dalam pembentukan citra diri seseorang, terlepas dari apakah orang tersebut ikhlas atau tidak, tapi ketika dia tahu mana yang etis dan yang tidak etis, setidaknya orang-orang akan melihat orang tersebut sebagai seseorang yang beretika dan berperilaku baik, dan salah satu manfaatnya adalah untuk dirinya sendiri.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak memperhatikan etika? Etika tidaklah seperti hukum yang memiliki sejumlah peraturan dan perundangan yang bisa memaksa manusia untuk patuh terhadap hukum yang berlaku. Dalam hukum bila ada seorang yang melanggar hukum tentu, baik secara sengaja maupun tidak sengaja akan mendapatkan sanksi sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan (diproses secara hukum). Sementara itu etika bukanlah suatu hal tertulis dan bukan suatu hal yang memiliki konsekuensi-konsekuensi seperti sanksi hukum bagi yang melanggar aturan-aturan yang berlaku. Karena ukuran dari etika adalah ‘baik dan buruk’ atau ‘pantas atau tidak pantas’, orang-orang yang melanggar nilai-nilai etika tidak akan mendapatkan sanksi layaknya sanksi hukum. Mereka yang melanggar etika akan mendapatkan sanksi yang berupa sanksi sosial. Sanksi sosial ini bisa berupa cibiran dari orang-orang sampai dengan pengucilan atau bahkan pengasingan untuk kasus pelanggaran etika yang sangat berat. Beberapa orang mungkin tidak begitu menganggap etika sebagai suatu hal serius karena melihat dari konsekuensinya yang hanya berupa sanksi sosial. Seseorang tidak akan didenda ratusan juta rupiah atau bahkan masuk penjara hanya karena tidak memberikan tempat duduk untuk seorang orang tua, terutama ibu-ibu, di dalam sebuah kereta. Orang tersebut mungkin hanya akan menjadi sedikit perhatian bagi penumpang lainnya, menjadi sedikit pembicaraan bahwa orang tersebut tidak seharusnya berdiam diri dan membiarkan orang tua tersebut berdiri sementara dia yang masih muda, dalam arti masih lebih kuat secara fisik, duduk di tempat duduk tersebut. Karena itulah orang-orang terkadang tidak begitu menghiraukan masalah etika. Kebanyakan orang lebih sibuk dengan kepentingan dirinya sendiri tanpa lagi melihat baik atau buruk dan pantas atau tidak pantas. Hal ini tentu kembali kepada hati tiap manusia karena etika berhubungan dengan rasa, dan rasa ini dirasakan di dalam hati manusia. Hati manusialah yang bisa menilai etis atau tidak etisnya tingkah laku yang dia perbuat. Jika seseorang masih memiliki rasa etika dalam dirinya tentu orang tersebut memiliki hubungan dan citra yang baik di dalam masyarakat, tapi sebaliknya jika seseorang tidak mempedulikan etika tentunya orang tersebut akan dipandang “berbeda” dari lingkungan dan masyarakat karena dianggap tidak dapat melihat dan merasakan mana hal yang baik atau buruk dan pantas atau tidak pantas.

Etika Dalam Dunia Bisnis
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya.
Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah
1. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan
dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah. Pelanggaran etika bisnis itu dapat melemahkan daya saing hasil industri dipasar internasional. Ini bisa terjadi sikap para pengusaha kita.
Lebih parah lagi bila pengusaha Indonesia menganggap remeh etika bisnis yang berlaku secara umum dan tidak pengikat itu.
Kecenderungan makin banyaknya pelanggaran etika bisnis membuat keprihatinan banyak pihak. Pengabaian etika bisnis dirasakan akan membawa kerugian tidak saja buat masyarakat, tetapi juga bagi tatanan ekonomi nasional. Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak memperhatikan etika bisnis akan menghancurkan nama mereka sendiri dan negara.
Contoh Etika dalam dunia bisnis

“Ku kira coklat, nggak taunya broklat, perutku jadi kacau berat, nggk! Nggk momo lagi”. Demikian sebuah persyaratan yang diperankan oleh seorang anak bertubuh tambun dalam sebuah iklan kudapan coklat bermerk “Gery Toya-Toya” produksi Garuda Food, yang ditampilkan dalam iklan di berbagai televisi nasional. Sekilas iklan tersebut biasa saja, namun sesungguhnya memuat pesan yang menyerang pesaingnya bernama “Momogi” kudapan buatan perusahaan lain. Dilain pihak beberapa iklan di televisi menampilkan produk toiletris seperti  sabun mandi, atau perawatan kulit, yang secara sengaja mengumbar kulit mulus wanita cantik, atau kita juga disugukan oleh iklan obat sekali minum sembuh, padahal proses penyembuhan penyakit tidak sesederhana itu. Tayangan sinetron di televisi menyiarkan film-film berbau sex, kekerasan, mistik, horor, dan menampilkan kemewahan ekonomi yang sesungguhnya bukan merupakan kondisi riil masyarakat kita. 
Apa yang dibahas di atas merupakan gambaran betapa sebagian orang atau organisasi melakukan berbagai cara untuk menjual produknya baik dengan cara menyerang pesaingnya, mengumbar aurat atau melakukan  kebohongan publik. Apakah bisnis merupakan profesi etis? Atau sebaliknya ia menjadi profesi kotor? Kalau profesi kotor penuh tipu menipu, mengapa begitu banyak oran yang menekuninya bahkan bangga dengan itu? Lalu kalau ini profesi kotor betapa mengerikan masyarakat modern ini yang didominasi oleh kegiatan bisnis ini. Bisnis modern merupakan realitas yang amat kompleks banyak faktor yang turut mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis salah
satunya adalah etika.

Etika Teleologi
Teleologi berasal dari bahas kata Yunani telos , yang berarti akhir, tujuan, maksud, dan logos  perkataan. Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan segala kejadian menuju pada tujuan tertentu. Istilah teleologi dikemukakan oleh Christian Wolff, seorang filsuf Jerman abad XVIII. Teleologi merupakan sebuah studi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan keteraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal-hal ini dicapai dalam suatu proses perkembangan. Dalam arti umum, teleologi merupakan sebuah studi filosofis mengenai bukti perencanaan, fungsi, atau tujuan di alam maupun dalam sejarah. Dalam bidang lain, teleologi merupakan ajaran filosofis-religius tentang eksistensi tujuan dan “kebijaksanaan” objektif di luar manusia.
Etika teleologi mengukur baik dan buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan itu atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Artinya, teleologi bisa diartikan sebagai pertimbangan moral akan baik buruknya suatu tindakan yang dilakukan. Teleologi mengerti benar mana yang benar, dan mana yang salah, tetapi itu bukan ukuran yang terakhir. Yang lebih penting adalah tujuan dan akibat. Walaupun sebuah tindakan dinilai salah menurut hukum, tetapi jika itu bertujuan dan berakibat baik, maka tindakan itu dinilai baik. Namun dengan demikian, tujuan yang baik tetap harus diikuti dengan tindakan yang benar menurut hukum.
            Menurut Kant, setiap norma dan dan kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam setiap situasi.Jadi, sejalan dengan pendapat Kant, etika teleologi lebih bersifat situasional karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu. Berdasarkan pembahasan etika teleologi ini muncul aliran-aliran teleologi, yaitu egoisme dan utilitarianisme :
1.    Egosime adalah pandangan bahwa tindakan setiap orang bertujuan untuk mengejar kepentingan atau memajukan dirinya sendiri. Egoisme bisa menjadi persoalan serius ketika secara signifikan berhubungan dengan hedonism, yaitu ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi semata-mata hanya kenikmatan fisik yang bersifat vulgar. Artinya, yang baik secara moral disamakan begitu saja dengan kesenangan dan kenikmatan.
2.    Utilitarianisme adalah penilaian suatu perbuatan berdasarkan baik dan buruknya tindakan atau kegiatan yang bertumpu pada tujuan atau akibat dari tindakan itu sendiri bagi kepentingan orang banyak. Utilitarianisme bahkan bisa membenarkan suatu tindakan yang secara deontologis tidak etis sebagai tindakan yang baik dan etis, yaitu ketika ternyata tujuan atau akibat dari tindakan itu bermanfaat bagi bayak orang. Utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral. Tidak ada paksaan bahwa seseorang harus beritndak dengan cara tertentu yang mungkin tidak diketahui alasannya mengapa demikian. Jadi, suatu tindakan baik diputuskan dan dipilih berdasarkan kriteria yang rasional dan bukan sekedar mengikuti tradisi atau perintah tertentu.

Etika Deontologi

Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban. Karena itu etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut etika deontologi, suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dan tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Misalnya, suatu tindakan bisnis akan dinilai baik oleh etika deontologi bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik pada pelakunya, melainkan karena tindakan itu sejalan dengan kewajiban si pelaku untuk, misalnya memberikan pelayanan yang baik kepada semua konsumen, untuk mengembalikan utangnya sesuai dengan kesepakatan, untuk menawarkan barang dan jasa dengan mutu yang sebanding dengan harganya, dan sebagainya. Jadi, nilai tindakan itu tidak ditentukan oleh akibat atau tujuan baik dari tindakan itu.
            Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat  dari pelaku. Atau sebagaimana dikatakan Immanuel Kant kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya sendiri terlepas dari apapun juga. Maka, dalam menilai seluruh tindakan kita, kemauan baik harus selalu dinilai paling pertama dan menjadi kondisi dari segalanya.
            Menurut Kant, kemauan baik adalah syarat mutlak untuk bertindak secara moral. Karena itu, ia menjadi kondisi yang mau tidak mau harus dipenuhi agar manusia dapat bertindak secara baik, sekaligus membenarkan tndakannya itu. Maksudnya, bisa saja akibat dari suatu tindakan memang baik, tetapi kalau tindakan itu tidak dilakukan berdasarkan kemauan baik untuk menaati hukum moral yang merupakan kewajiban seseorang, tindakan itu tidak bisa dinilai baik. Karena, akibat baik tadi bisa saja hanya merupakan hal yang kebetulan. Atas dasar ini, menurut Kant tindakan yang baik adalah tindakan yang tidak saja sesuai dengan kewajiban melainkan juga yang dijalankan demi kewajiban. Konsekuensi, ia menolak semua tindakan yang bertentangan dengan kewajiban sebagai tindakan yang baik, bahkan walaupun tindakan itu tidak berguna. Demikian pula, semua tindakan yang dijalankan sesuai dengan kewajiban tetapi tidak dijalankan berdasarkan kemauan baik melainkan hanya karena dipaksa atau terpaksa dianggapnya sebagai tindakan yang tidak baik. Secara singkat, ada tiga prinsip yang harus dipenuhi :
1. supaya suatu tindakan punya nilai moral, tindakan itu harus dijalankan berdasarkan kewajiban.
2. Nilai moral dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu, berarti kalaupun tujuannya tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik.
3. sebagai konsekuensi dari kedua prinsip itu, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.

Bagi Kant, hukum moral telah tertanam dalam hati setiap orang dan karena itu bernilai universal. Hukum moral ini dianggapnya sebagai perintah tak bersyarat, yang berarti hukum moral ini berlaku bagi semua orang pada segala situasi dan tempat. Karena itu, huum moral ini mengikat siapa saja dari dalam dirinya sendiri karena hukum moral ini berasal dari dalam dirinya sendiri.
Untuk menjelaskan makna perintah tak bersyarat ini, Kant membedaknnya dari perintah bersyarat. Perintah bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan kalau orang menghendaki akibatnya, atau kalau akibat dari tindakan ini merupakan hal yang diinginkan dan dikehendaki oleh orang tersebut. Sedangkan perintah tak bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan begitu saja tanpa syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan akibatnya, atau tanpa mempedulikan apakah akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau tidak. Ada dua kesulitan yang dapat diajukan terhadap teori deontologi khususnya terhadap pandangan-pandangan Kant. Pertama , bagaimana jadinya apabila seseorang dihadapkan pada dua perintah atau kewajiban moral dalam suatu situasi yang sama, tetapi keduanya tidak bisa dilaksanakan sekaligus, bahkan keduanya saling meniadakan. Misalnya seorang karyawan diancam akan dibunuh atau dipecat kalau ia sampai membongkar kekurangan yang dilakukan oleh rekan-rekan sekerjanya, tetapi dipihak lain ia dihadapkan pada perintah atau kewajiban untuk melindungi dirinya dan hidupnya ( dan mungkin juga nasib istri dan anaknya). Menurut etika deontologi Kant, kejujuran harus ditegakan terlepas dari akibat bagi dirinya. Namun dipihak lain, deontologi Kant mewajibkan orang itu untuk melindungi dirinya, terlepas dari apakah akibatnya ia harus mendiamkan kucurangan itu atau tidak.

DAFTAR PUSTAKA
N.Nuryesrnan M, Moral dan Etika Dalam Dunia Bisnis, Bank dan Manajemen, Mei/Juni 1996.
Purba Victor, Hukum Bisnis Dalam Kegiatan Bisnis Para Manajer, Manajemen, 1993.
Dunia Bisnis, Warta Ekonomi, No. 29, Desember 1994.


ETIKA


PENGERTIAN ETIKA
1. Teori Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” ( adat kebiasaan). Etika merupakan bagian dalam pelajaran filsafat yang berarti :
a. Ilmu tentang tingkah laku manusia, prinsip-prinsip yang disistematisir tentang tindakan moral yang betul (Webster’s Dict)
b. Bagian Filsafat yang memperkembangkan teori tentang tindakan, tujuan yang diarahkan kepada makna tindakan (Ensiklopedi Winkler Prins)
c. Ilmu tentang filsapat moral, tidak mengenal fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenal sifat tindakan manusia, tetapi idenya karena itu bukan ilmu yang positif, tetapi ilmu yang formatif (New American encyl)
d. Ilmu tentang Moral(Prinsip); kaidah-kaidah; moral tentang tindakan dan kelakukan (A.S Hornby Dict)

2. Dari Sudut Pandang Filsafat
Etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui akal fikiran. Mencari kesamaan ide seluruh manusia atas dasar perbuatan, tempat, waktu, kondisi tentang ukuran tingkah laku manusia tentang baik buruk berdasarkan akal fikiran manusia.
Etika adalah cabang utama
filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia. Etika terbagi menjadi tiga bagian utama:
meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).

3. Dari Sudut Pandang Agama Islam
Etika dalam sudut agama adalah sebagai perangkat nilai yang tidak terhingga dan agung yang bukan saja berisikan sikap, perilaku secara normatif, yaitu dalam bentuk hubungan manusia dengan Tuhan (iman), melainkan wujud dari hubungan manusia terhadap Tuhan, manusia dan alam semesta dari sudut pandang historisitas. Etika sebagai fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan pengalaman keberagamaan seseorang. Maka setiap ajaran agama menganjurkan kepada manusia untuk menjunjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian, kejujuran dan keadilan. Etika dalam ajaran agama akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang dan perilaku manusia dalam hubungan sosial yang ditujukan hanya dan untuk mengabdi pada Tuhan, bukan ada pamrih di dalamnya.
Etika dalam islam adalah sebagai perangkat nilai yang tidak terhingga dan agung yang bukan saja berisikan sikap, perilaku secara normative, yaitu dalam bentuk hubungan manusia dengan tuhan (iman), melainkan wujud dari hubungan manusia terhadap Tuhan, Manusia dan alam semesta dari sudut pangan historisitas. Etika sebagai fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan pengalaman keberagamaan seseorang. Maka Islam menganjurkan kepada manusia untuk menjungjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian, kejujuran, dan keadilan. Etika dalam islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang dan perilaku manusia dalam hubungan social hanya dan untuk mengabdi pada Tuhan, buka ada pamrih di dalamnya. Di sinilah peran orang tua dalam memberikan muatan moral kepada anak agar mampu memahami hidup dan menyikapinya dengan bijak dan damai sebagaimana Islam lahir ke bumi membawa kedamaian untuk semesta (rahmatan lilalamain).

http://ardeeuchiha.files.wordpress.com/2011/09/cropped-411660a.jpg
Tugas Etika Profesi Akuntansi (Minggu 2)
Nama : Ardiprawiro
Kelas : 4EB11
NPM : 20208171
Hubungan kode etik dengan norma pemeriksaan akuntansi
Etika (Yunani Kuno: “ethikos“, berarti “timbul dari kebiasaan”) adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kedokteran, keuangan, militer, teknik dan desainer.
Seseorang yang memiliki suatu profesi tertentu, disebut profesional. Walaupun begitu, istilah profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas yang menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir.
Seorang profesional, dalam pekerjaannya harus menaati aturan yang bernama etika profesi. Etika profesi menjadi batasan perilaku seorang profesional dalam melakukan pekerjaannya dimana etika profesi menjaga profesional untuk berlaku baik dan benar sesuai dengan pekerjaannya.
Dalam aturan/batasan dalam etika profesi disebut kode etik profesi. Dalam kode etik profesi ada beberapa poin yang menjadi pedoman bagi para profesional dalam melakukan pekerjaannya.
1)        Tanggung jawab profesi
2)        Kepentingan publik
3)        Integritas
4)        Objektivitas
5)        Kompetensi dan kehati-hatian profesional
6)        Kerahasiaan
7)        Perilaku profesional
8)        Standar teknis
Kedelapan poin kode etik profesi diatas merupakan batasan perilaku profesional dalam pekerjaannya dan menjadi dasar norma pemeriksaan akuntansi.

ETIKA
1.   Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.
2.  Etika dalam kehidupan sehari - hari
      Sebagai makhluk sosial kita tidak bisa lepas tanpa kehadiran orang lain setiap tindakan kita sekecil apa pun pasti butuh bantuan orang lain contohnya saat kita tersenyum kita tak bisa tersenyum tanpa bantuan orang lain kita bisa saja tersenym sendiri tapi jangan salahkan orang lain bila di anggap kita gila.Dalam kehidupan bermasarakat kita bergaul dengan berbagai pribadi yang berbeda dari bermacam suku agama dan keyakinan dan semua itu kita butuh etika atau aturan dalam pergaulan sehari.Bila kita dalam bergaul tidak punya etika atau aturan sudah di pastikan kita tak bisa punya banyak teman dan di jauhkan dari kehidupan.Berikut beberapa etika dalam kehidupan sehari hari yang saya ambil dari kotasantri.com.

Berbicara
1. Hendaknya pembicaran selalu di dalam kebaikan. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.” (QS. An-Nisa : 114).
2. Hendaknya pembicaran dengan suara yang dapat didengar, tidak terlalu keras, dan tidak pula terlalu rendah, ungkapannya jelas dapat difahami oleh semua orang dan tidak dibuat-buat atau dipaksa-paksakan.
3. Jangan membicarakan sesuatu yang tidak berguna bagimu. Hadits Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menyatakan, “Termasuk kebaikan Islamnya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
4. Janganlah kamu membicarakan semua apa yang kamu dengar. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu di dalam haditsnya menuturkan : Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda, ”Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar.” (HR. Muslim).
5. Menghindari perdebatan dan saling membantah, sekalipun kamu berada di fihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang menghindari pertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin) istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun bercanda.” (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
6. Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa. Aisyah RA telah menuturkan, “Sesungguhnya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam apabila membicarakan suatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya.” (Muttafaq ’alaih).
7. Menghindari perkataan jorok (keji). Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Seorang mu’min itu pencela atau pengutuk atau keji pembicaraannya.” (HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab Mufrad, dan dishahihkan oleh Al-Albani).
8. Menghindari sikap memaksakan diri dan banyak bicara di dalam berbicara. Di dalam hadits Jabir Radhiallaahu anhu disebutkan, “Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di hari Kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara, orang yang berpura-pura fasih, dan orang-orang yang mutafaihiqun.” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulllah, apa arti mutafaihiqun?” Nabi menjawab, “Orang-orang yang sombong.” (HR. At-Turmudzi, dinilai hasan oleh Al-Albani).
9. Menghindari perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.” (QS. Al-Hujurat : 12).
10. Mendengarkan pembicaraan orang lain dengan baik dan tidak memotongnya, juga tidak menampakkan bahwa kamu mengetahui apa yang dibicarakannya, tidak menganggap rendah pendapatnya atau mendustakannya.
11. Jangan memonopoli dalam berbicara, tetapi berikanlah kesempatan kepada orang lain untuk berbicara.
12. Menghindari perkataan kasar, keras, dan ucapan yang menyakitkan perasaan dan tidak mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain dan kekeliruannya, karena hal tersebut dapat mengundang kebencian, permusuhan dan pertentangan.
13. Menghindari sikap mengejek, memperolok-olok, dan memandang rendah orang yang berbicara. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan).” (QS. Al-Hujurat : 11).
Bercanda
1. Hendaknya percandaan tidak mengandung nama Allah, ayat-ayat-Nya, Sunnah rasul-Nya, atau syi’ar-syi’ar Islam. Karena Allah telah berfirman tentang orang-orang yang memperolok-olokan shahabat Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam, yang ahli baca Al-Qur’an, “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan), tentulah mereka menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah : 65-66).
2. Hendaknya percandaan itu adalah benar tidak mengandung dusta. Dan hendaknya pecanda tidak mengada-ada cerita-cerita khayalan supaya orang lain tertawa. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta supaya dengannya orang banyak jadi tertawa. Celakalah baginya dan celakalah.” (HR. Ahmad dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
3. Hendaknya percandaan tidak mengandung unsur menyakiti perasaan salah seorang di antara manusia. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Janganlah seorang di antara kamu mengambil barang temannya apakah itu hanya canda atau sungguh-sungguh; dan jika ia telah mengambil tongkat temannya, maka ia harus mengembalikannya kepadanya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud; dinilai hasan oleh Al-Albani).
4. Bercanda tidak boleh dilakukan terhadap orang yang lebih tua darimu, atau terhadap orang yang tidak bisa bercanda atau tidak dapat menerimanya, atau terhadap perempuan yang bukan mahrammu.
Hendaknya anda tidak memperbanyak canda hingga menjadi tabiatmu, dan jatuhlah wibawamu dan akibatnya kamu mudah dipermainkan oleh orang lain.
Bergaul dengan Orang Lain
1. Hormati perasaan orang lain, tidak mencoba menghina atau menilai mereka cacat.
2. Jaga dan perhatikanlah kondisi orang, kenalilah karakter dan akhlaq mereka, lalu pergaulilah mereka, masing-masing menurut apa yang sepantasnya.
3. Mendudukkan orang lain pada kedudukannya dan masing-masing dari mereka diberi hak dan dihargai.
4. Perhatikanlah mereka, kenalilah keadaan dan kondisi mereka, dan tanyakanlah keadaan mereka.
5. Bersikap tawadhu’lah kepada orang lain dan jangan merasa lebih tinggi atau takabbur dan bersikap angkuh terhadap mereka.
6. Bermuka manis dan senyumlah bila anda bertemu orang lain.
7. Berbicaralah kepada mereka sesuai dengan kemampuan akal mereka.
8. Berbaik sangkalah kepada orang lain dan jangan memata-matai mereka.
9. Mema’afkan kekeliruan mereka dan jangan mencari-cari kesalahan-kesalahannya, dan tahanlah rasa benci terhadap mereka.
10. Dengarkanlah pembicaraan mereka dan hindarilah perdebatan dan bantah-membantah dengan mereka.
Bertetangga
1. Menghormati tetangga dan berprilaku baik terhadap mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, sebagaimana di dalam hadits Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya.” Dan di dalam riwayat lain disebutkan, “Hendaklah ia berprilaku baik terhadap tetangganya.” (Muttafaq’alaih).
2. Bangunan yang kita bangun jangan mengganggu tetangga kita, tidak membuat mereka tertutup dari sinar matahari atau udara, dan kita tidak boleh melampaui batasnya, apakah merusak atau mengubah miliknya, karena hal tersebut menyakiti perasaannya.
3. Hendaknya kita memelihara hak-haknya di saat mereka tidak di rumah. Kita jaga harta dan kehormatan mereka dari tangan-tangan orang jahil; dan hendaknya kita ulurkan tangan bantuan dan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan, serta memalingkan mata kita dari wanita mereka dan merahasiakan aib mereka.
4. Tidak melakukan suatu kegaduhan yang mengganggu mereka, seperti suara radio atau TV, atau mengganggu mereka dengan melempari halaman mereka dengan kotoran, atau menutup jalan bagi mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda, “Demi Allah, tidak beriman; demi Allah, tidak beriman; demi Allah, tidak beriman!” Nabi ditanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Adalah orang yang tetangganya tidak merasa tentram karena perbuatannya.” (Muttafaq’alaih).
5. Jangan kikir untuk memberikan nasihat dan saran kepada mereka, dan seharusnya kita ajak mereka berbuat yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dengan bijaksana (hikmah) dan nasihat baik tanpa maksud menjatuhkan atau menjelek-jelekkan mereka.
6. Hendaknya kita selalu memberikan makanan kepada tetangga kita. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda kepada Abu Dzarr, “Wahai Abu Dzarr, apabila kamu memasak sayur (daging kuah), maka perbanyaklah airnya dan berilah tetanggamu.” (HR. Muslim).
7. Hendaknya kita turut bersuka cita di dalam kebahagiaan mereka dan berduka cita di dalam duka mereka; kita jenguk bila ia sakit, kita tanyakan apabila ia tidak ada, bersikap baik bila menjumpainya; dan hendaknya kita undang untuk datang ke rumah. Hal-hal seperti itu mudah membuat hati mereka jinak dan sayang kepada kita.
8. Hendaknya kita tidak mencari-cari kesalahan/kekeliruan mereka dan jangan pula bahagia bila mereka keliru, bahkan seharusnya kita tidak memandang kekeliruan dan kealpaan mereka.
9. Hendaknya kita sabar atas prilaku kurang baik mereka terhadap kita. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, “Ada tiga kelompok manusia yang dicintai Allah. –Disebutkan di antaranya- : Seseorang yang mempunyai tetangga, ia selalu disakiti (diganggu) oleh tetangganya, namun ia sabar atas gangguannya itu hingga keduanya dipisah oleh kematian atau keberangkatannya.” (HR. Ahmad).
Etika dalam berbisnis
      Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Mengapa ? Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian. Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah
1. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi, serta optimis salah satu kendala dalam menghadapi tahun 2000 dapat diatasi.
3. Etika Teleologi
Teleologi berasal dari bahas kata Yunani telos (τέλος), yang berarti akhir, tujuan, maksud, dan logos (λόγος), perkataan. Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan segala kejadian menuju pada tujuan tertentu. Istilah teleologi dikemukakan oleh Christian Wolff, seorang filsuf Jerman abad XVIII. Teleologi merupakan sebuah studi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan keteraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal-hal ini dicapai dalam suatu proses perkembangan. Dalam arti umum, teleologi merupakan sebuah studi filosofis mengenai bukti perencanaan, fungsi, atau tujuan di alam maupun dalam sejarah. Dalam bidang lain, teleologi merupakan ajaran filosofis-religius tentang eksistensi tujuan dan “kebijaksanaan” objektif di luar manusia.
Contoh : kewajiban untuk menepati janji
Etika Deontologi
      Dalam pemahaman teori Deontologi memang terkesan berbeda dengan Utilitarisme. Jika dalam Utilitarisme menggantungkan moralitas perbuatan pada konsekuensi, maka dalam Deontologi benar-benar melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan. ”Deontologi” ( Deontology ) berasal dari kata dalam Bahasa Yunani yaitu : deon yang artinya adalah kewajiban. Dalam suatu perbuatan pasti ada konsekuensinya, dalam hal ini konsekuensi perbuatan tidak boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan menjadi baik bukan dilihat dari hasilnya melainkan karena perbuatan tersebut wajib dilakukan. Deontologi menekankan perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang baik tidak menjadi perbuatan itu juga baik. Di sini kita tidak boleh melakukan suatu perbuatan jahat agar sesuatu yang dihasilkan itu baik, karena dalam Teori Deontologi kewajiban itu tidak bisa ditawar lagi karena ini merupakan suatu keharusan.
Contoh : kita tidak boleh mencuri, berbohong kepada orang lain melalui ucapan dan perbuatan

Posting Komentar

0 Komentar